Coronavirus atau Covid-19,
selanjutnya disingkat Covid, merupakan suatu virus baru yang memiliki daya
sebar yang sangat cepat, hampir seluruh negara di dunia dibuat was-was oleh
hadirnya covid tak terkecuali di Indonesia. Semua penduduk Indonesia dibuat
panik hiruk pikuk kesibukannya oleh virus tersebut. Pemerintah pun dengan
segala upaya dilakukan untuk mencegah dan mengantisipasi penyebaran covid yang
terus meluas, meskipun pada awalnya pemerintah seperti tidak menganggap serius
virus ini melalui pernyataan pejabat-pejabat pemerintahan di pelbagai media.
Pada akhirnya pemerintah Indonesia mengambil kebijakan penerapan tatanan baru
dalam aktivitas penduduk (new normal)
setelah hampir 3 (tiga) bulan bertarung agar kurva covid di Indonesia dapat
menurun sebagaimana di beberapa negara telah berlangsung. Namun, pada
kenyataannya sampai saat ini jumlah pasien positif terus bertambah. Sudah pasti
banyak faktor yang menyebabkan hal ini dapat terjadi. Pada kali ini kita akan
membahas faktor rendahnya literasi dan sistem pendidikan di Indonesia yang
tidak memadai sehingga salah satu kebijakan pemerintah yakni Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) dinilai masih banyak pelanggaran di dalamnya.
Indonesia berdasarkan sensus
penduduk tahun 2010 memiliki jumlah penduduk sebesar 237.641.326 juta jiwa.
Indonesia memiliki 17.499 pulau dari Sabang hingga Merauke. Luas total wilayah
Indonesia adalah 7,81 juta km2 yang terdiri dari 2,01 juta km2
daratan, 3,25 juta km2 lautan, dan 2,55 juta km2 Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Ada lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di
Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. Menurut
data BPS, pada tahun 2018 masih ada sekitar 3,29 Juta orang atau sekitar 1,93%
populasi penduduk di Indonesia yang buta huruf.
Dari jumlah penduduk saja, Indonesia merupakan peringkat ke-4 di dunia.
Proyeksi BPS tahun 2020 Jumlah penduduk di Indonesia berada dikisaran 267Juta. Jika
dilihat dari total luas wilayah pun Indonesia masih menduduki 10 besar dunia. Namun
masalah sumber daya manusia masih menjadi suatu permasalahan yang kompleks di
Indonesia. Segala sumber daya alam yang kaya di Indonesia mulai dari tambang,
hutan, minyak, dan lain-lain akhirnya hanya menjadi hiasan tersendiri di
Indonesia akibat kualitas sumber daya manusia yang dinilai kurang. Akhirnya
mayoritas sumber daya manusia Indonesia selalu terkucilkan atau dikerdilkan
oleh masyarakat internasional. Masih ada sekitar 3,29 Juta penduduk Indonesia
yang buta huruf. Selain itu, menurut data UNESCO pada 2016, minat baca
masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya dari 1.000
orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Minat baca Indonesia berada
di peringkat 60, hanya satu tingkat diatas Botswana, salah satu negara di
Afrika yang berada di peringkat 61. Banyak survei-survei lain mengenai kualitas
sdm manusia pun selalu menempatkan Indonesia di peringkat yang rendah, bahkan
kalah oleh negara tetangga di ASEAN seperti Singapura dan Malaysia.
Dalam penanganan covid,
masyarakat Indonesia yang memiliki mindset serba instan, menangkap cara
penanggulangan covid secara mentah-mentah. Hal ini menurut saya disebabkan minat
baca yang rendah di Indonesia serta ketidakmauan mencari pelbagai hal mengenai
covid. Meskipun covid ini pun merupakan virus jenis baru, namun mencari
pengetahuan bagaimana covid ini menyebar serta sebab-sebab pemerintah mengambil
kebijakan sedemikian rupa sangatlah penting agar masyarakat melek akan fenomena
atau paham dengan situasi yang terjadi sehingga masyarakat mampu mengambil
langkah untuk membantu mencegah penyebaran virus ini. Sebagai contoh, pewajiban
penggunaan masker oleh masyarakat, salah satu alasan pewajiban ini adalah
ketidaksanggupan pemerintah untuk mendata siapa-siapa saja yang positif
mengidap covid, sehingga semua dianggap punya potensi untuk menularkan covid
melalui droplet yang keluar dari mulut dan hidungnya yang akhirnya masker
adalah penampung agar droplet tersebut tidak tersebar. Namun hal ini dilapangan
dianggap lain, pengenaan masker oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai
bentuk pencegahan agar diri mereka tidak terkena, sebab sebagian ini berpendapat
bahwa covid ini menular melalui udara atau airborne.
Dan pada akhirnya semua upaya pemerintah tidak memiliki efek signifikan pada
penurunan kurva covid di Indonesia.
Coronavirus ini bisa menjadi
suatu refleksi untuk pemerintah Indonesia jika memang pemerintahan Indonesia memang
diciptakan sebagai pengayom masyarakat untuk mencapai cita-cita kemerdekaan
sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Mencerdaskan kehidupan bangsa harus
menjadi suatu prioritas di Indonesia. Indonesia dan seluruh penduduknya tidak
boleh mengkerdilkan diri maupun dikerdilkan oleh masyarakat Internasional. Sistem
pendidikan Indonesia harus dan memang mau tidak mau harus mengalami evolusi. Sudah
terlalu lama pendidikan kita berjalan di tempat. Harus ada upaya agar arus
modernisasi dan globalisasi dapat dihadapi dengan dewasa oleh bangsa Indonesia.
Pendidikan Multikultural di Indonesia bisa menjadi salah satu jalan keluar bagi
“kemacetan” sistem pendidikan Indonesia yang menyebabkan mandeknya perkembangan
ilmu pengetahuan Indonesia.
Mengutip Bhikhu Parekh (2000:227—229),
Dalam dunia pendidikan perlu minimal ada
dua hal terpenuhi. Yang pertama, Tidak ada satupun kurikulum yang bisa mencakup
semua ilmu di dunia. Maka dari itu tujuan pendidikan seharusnya mengasah daya
nalar. Idealnya setiap siswa dibuat familiar dengan pelajaran melalui
pertanyaan mendasar atau asbabun. Di
Indonesia, pendidikan masih bersifat dogmatis absolutisme. Siswa harus
mempelajari harus mempelajari semuanya tanpa mengetahui sebab apa pelajaran
tersebut ada maupun alasan untuk apa mempelajari pelajaran tersebut. Dan akhirnya
siswa dipaksa untuk mempelajari semuanya dengan sistem kebenaran absolutisme
pada guru atau sistem pendidikan yang memaksa adanya kebenaran absolutisme
tersebut. Pada akhirnya muncul kejenuhan pada perkembangan nalar dan keilmuan
siswa. Output dari pendidikan semacam
ini hanya menghasilkan manusia Indonesia sebagai pekerja yang manut terhadap kebijakan atasan. Sehingga
Mobilitas sosial vertikal kecil kemungkinan di Indonesia. Untuk itu saatnya
kita beralih ke Pendidikan yang memajukan nalar dan kebudayaan. Kurikulum
Kebhinekaan Tunggal Ika Tanhanna Dharma Mangrva, bisa menjadi sebutannya, Kita semua
beragam namun menjadi suatu kesatuan, dimana kebenaran tidak mendua karena
kebenaran sejati hanya milik Ketuhanan yang Esa. Dogmatis absolutisme diubah
sedemikian rupa menjadi relativisme nalar. Sebagai contoh, Pertanyaan ujian
bukan lagi berapa 2+2 melainkan apa saja yang bisa menghasilkan 4, dengan ini
akan muncul pelbagai pemikiran siswa yang beragam dan berkembang karena untuk
menghasilkan 4 akan muncul jumlah yang tak terbatas sebagaimana daya nalar manusia
yang diberikan Tuhan sejatinya tidak terbatas.
Yang kedua, penyampaian oleh guru
kepada siswa. Dengan guru mengajar akan menghasilkan persepsi yang berbeda
kepada setiap murid. Masalah di Indonesia adalah kompetensi guru yang belum memahami
betul A-Z apa yang diajarkannya sehinggan siswa dapat dipastikan lebih tidak
memahami, sebagaimana peribahasa, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Oleh
karena itu pengembangan kompetensi guru sudah wajib menjadi prioritas pula. Guru
harus memahami apa yang diajarkan mulai dari asbab sampai implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu
perlu juga memahami psikologi pengajaran agar setiap siswa paham dan tertarik
untuk mempelajari lebih jauh terhadap suatu pelajaran. Saya memiliki harapan
bahwa dengan perubahan sistem pendidikan bisa membawa suatu bentuk perubahan
dimana Peradaban Indonesia bisa menjadi mercusuar bagi hiruk-pikuk peradaban
manusia dunia yang semakin kompleks permasalahannya.
Referensi:
Solagracia,
Maylisda F.E. 2019. Benarkah Tingkat
Pendidikan di RI Masih Rendah? Ini Faktanya. Jakarta: Okezone News melalui https://news.okezone.com/read/2019/12/08/65/2139374/benarkah-tingkat-pendidikan-di-ri-masih-rendah-ini-faktanya
(diakses 27 Mei 2020)
Admin.
2019. Jumlah Penduduk Buta Aksara Turun
Menjadi 3,29 Juta. Jakarta:Kemendikbud RI Melalui https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/08/jumlah-penduduk-buta-aksara-turun-menjadi-329-juta
(diakses 27 Mei 2020)
Anggraeni,
Rina. 2019. Tingkat Baca Indonesia Masih
Rendah, Sri Mulyani Gencarkan Literasi. Jakarta:Sindo News Melalui https://ekbis.sindonews.com/berita/1444945/33/tingkat-baca-indonesia-masih-rendah-sri-mulyani-gencarkan-literasi
(diakses 27 Mei 2020)
Parekh, Bhikhu.
2000. Rethingking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory. London:Macmillan Press LTD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar