Rabu, 27 Mei 2020

Persaingan Melawan Virus di Indonesia



Coronavirus atau Covid-19, selanjutnya disingkat Covid, merupakan suatu virus baru yang memiliki daya sebar yang sangat cepat, hampir seluruh negara di dunia dibuat was-was oleh hadirnya covid tak terkecuali di Indonesia. Semua penduduk Indonesia dibuat panik hiruk pikuk kesibukannya oleh virus tersebut. Pemerintah pun dengan segala upaya dilakukan untuk mencegah dan mengantisipasi penyebaran covid yang terus meluas, meskipun pada awalnya pemerintah seperti tidak menganggap serius virus ini melalui pernyataan pejabat-pejabat pemerintahan di pelbagai media. Pada akhirnya pemerintah Indonesia mengambil kebijakan penerapan tatanan baru dalam aktivitas penduduk (new normal) setelah hampir 3 (tiga) bulan bertarung agar kurva covid di Indonesia dapat menurun sebagaimana di beberapa negara telah berlangsung. Namun, pada kenyataannya sampai saat ini jumlah pasien positif terus bertambah. Sudah pasti banyak faktor yang menyebabkan hal ini dapat terjadi. Pada kali ini kita akan membahas faktor rendahnya literasi dan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak memadai sehingga salah satu kebijakan pemerintah yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai masih banyak pelanggaran di dalamnya.

Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 memiliki jumlah penduduk sebesar 237.641.326 juta jiwa. Indonesia memiliki 17.499 pulau dari Sabang hingga Merauke. Luas total wilayah Indonesia adalah 7,81 juta km2 yang terdiri dari 2,01 juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan, dan 2,55 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Ada lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. Menurut data BPS, pada tahun 2018 masih ada sekitar 3,29 Juta orang atau sekitar 1,93% populasi penduduk di Indonesia yang buta huruf.  Dari jumlah penduduk saja, Indonesia merupakan peringkat ke-4 di dunia. Proyeksi BPS tahun 2020 Jumlah penduduk di Indonesia berada dikisaran 267Juta. Jika dilihat dari total luas wilayah pun Indonesia masih menduduki 10 besar dunia. Namun masalah sumber daya manusia masih menjadi suatu permasalahan yang kompleks di Indonesia. Segala sumber daya alam yang kaya di Indonesia mulai dari tambang, hutan, minyak, dan lain-lain akhirnya hanya menjadi hiasan tersendiri di Indonesia akibat kualitas sumber daya manusia yang dinilai kurang. Akhirnya mayoritas sumber daya manusia Indonesia selalu terkucilkan atau dikerdilkan oleh masyarakat internasional. Masih ada sekitar 3,29 Juta penduduk Indonesia yang buta huruf. Selain itu, menurut data UNESCO pada 2016, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Minat baca Indonesia berada di peringkat 60, hanya satu tingkat diatas Botswana, salah satu negara di Afrika yang berada di peringkat 61. Banyak survei-survei lain mengenai kualitas sdm manusia pun selalu menempatkan Indonesia di peringkat yang rendah, bahkan kalah oleh negara tetangga di ASEAN seperti Singapura dan Malaysia.

Dalam penanganan covid, masyarakat Indonesia yang memiliki mindset serba instan, menangkap cara penanggulangan covid secara mentah-mentah. Hal ini menurut saya disebabkan minat baca yang rendah di Indonesia serta ketidakmauan mencari pelbagai hal mengenai covid. Meskipun covid ini pun merupakan virus jenis baru, namun mencari pengetahuan bagaimana covid ini menyebar serta sebab-sebab pemerintah mengambil kebijakan sedemikian rupa sangatlah penting agar masyarakat melek akan fenomena atau paham dengan situasi yang terjadi sehingga masyarakat mampu mengambil langkah untuk membantu mencegah penyebaran virus ini. Sebagai contoh, pewajiban penggunaan masker oleh masyarakat, salah satu alasan pewajiban ini adalah ketidaksanggupan pemerintah untuk mendata siapa-siapa saja yang positif mengidap covid, sehingga semua dianggap punya potensi untuk menularkan covid melalui droplet yang keluar dari mulut dan hidungnya yang akhirnya masker adalah penampung agar droplet tersebut tidak tersebar. Namun hal ini dilapangan dianggap lain, pengenaan masker oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai bentuk pencegahan agar diri mereka tidak terkena, sebab sebagian ini berpendapat bahwa covid ini menular melalui udara atau airborne. Dan pada akhirnya semua upaya pemerintah tidak memiliki efek signifikan pada penurunan kurva covid di Indonesia.

Coronavirus ini bisa menjadi suatu refleksi untuk pemerintah Indonesia jika memang pemerintahan Indonesia memang diciptakan sebagai pengayom masyarakat untuk mencapai cita-cita kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Mencerdaskan kehidupan bangsa harus menjadi suatu prioritas di Indonesia. Indonesia dan seluruh penduduknya tidak boleh mengkerdilkan diri maupun dikerdilkan oleh masyarakat Internasional. Sistem pendidikan Indonesia harus dan memang mau tidak mau harus mengalami evolusi. Sudah terlalu lama pendidikan kita berjalan di tempat. Harus ada upaya agar arus modernisasi dan globalisasi dapat dihadapi dengan dewasa oleh bangsa Indonesia. Pendidikan Multikultural di Indonesia bisa menjadi salah satu jalan keluar bagi “kemacetan” sistem pendidikan Indonesia yang menyebabkan mandeknya perkembangan ilmu pengetahuan Indonesia.

Mengutip Bhikhu Parekh (2000:227—229), Dalam dunia pendidikan perlu  minimal ada dua hal terpenuhi. Yang pertama, Tidak ada satupun kurikulum yang bisa mencakup semua ilmu di dunia. Maka dari itu tujuan pendidikan seharusnya mengasah daya nalar. Idealnya setiap siswa dibuat familiar dengan pelajaran melalui pertanyaan mendasar atau asbabun. Di Indonesia, pendidikan masih bersifat dogmatis absolutisme. Siswa harus mempelajari harus mempelajari semuanya tanpa mengetahui sebab apa pelajaran tersebut ada maupun alasan untuk apa mempelajari pelajaran tersebut. Dan akhirnya siswa dipaksa untuk mempelajari semuanya dengan sistem kebenaran absolutisme pada guru atau sistem pendidikan yang memaksa adanya kebenaran absolutisme tersebut. Pada akhirnya muncul kejenuhan pada perkembangan nalar dan keilmuan siswa. Output dari pendidikan semacam ini hanya menghasilkan manusia Indonesia sebagai pekerja yang manut terhadap kebijakan atasan. Sehingga Mobilitas sosial vertikal kecil kemungkinan di Indonesia. Untuk itu saatnya kita beralih ke Pendidikan yang memajukan nalar dan kebudayaan. Kurikulum Kebhinekaan Tunggal Ika Tanhanna Dharma Mangrva, bisa menjadi sebutannya, Kita semua beragam namun menjadi suatu kesatuan, dimana kebenaran tidak mendua karena kebenaran sejati hanya milik Ketuhanan yang Esa. Dogmatis absolutisme diubah sedemikian rupa menjadi relativisme nalar. Sebagai contoh, Pertanyaan ujian bukan lagi berapa 2+2 melainkan apa saja yang bisa menghasilkan 4, dengan ini akan muncul pelbagai pemikiran siswa yang beragam dan berkembang karena untuk menghasilkan 4 akan muncul jumlah yang tak terbatas sebagaimana daya nalar manusia yang diberikan Tuhan sejatinya tidak terbatas.

Yang kedua, penyampaian oleh guru kepada siswa. Dengan guru mengajar akan menghasilkan persepsi yang berbeda kepada setiap murid. Masalah di Indonesia adalah kompetensi guru yang belum memahami betul A-Z apa yang diajarkannya sehinggan siswa dapat dipastikan lebih tidak memahami, sebagaimana peribahasa, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Oleh karena itu pengembangan kompetensi guru sudah wajib menjadi prioritas pula. Guru harus memahami apa yang diajarkan mulai dari asbab sampai implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu perlu juga memahami psikologi pengajaran agar setiap siswa paham dan tertarik untuk mempelajari lebih jauh terhadap suatu pelajaran. Saya memiliki harapan bahwa dengan perubahan sistem pendidikan bisa membawa suatu bentuk perubahan dimana Peradaban Indonesia bisa menjadi mercusuar bagi hiruk-pikuk peradaban manusia dunia yang semakin kompleks permasalahannya.


Referensi:

Solagracia, Maylisda F.E. 2019. Benarkah Tingkat Pendidikan di RI Masih Rendah? Ini Faktanya. Jakarta: Okezone News melalui https://news.okezone.com/read/2019/12/08/65/2139374/benarkah-tingkat-pendidikan-di-ri-masih-rendah-ini-faktanya (diakses 27 Mei 2020)
Admin. 2019. Jumlah Penduduk Buta Aksara Turun Menjadi 3,29 Juta. Jakarta:Kemendikbud RI Melalui https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/08/jumlah-penduduk-buta-aksara-turun-menjadi-329-juta (diakses 27 Mei 2020)
Anggraeni, Rina. 2019. Tingkat Baca Indonesia Masih Rendah, Sri Mulyani Gencarkan Literasi. Jakarta:Sindo News Melalui https://ekbis.sindonews.com/berita/1444945/33/tingkat-baca-indonesia-masih-rendah-sri-mulyani-gencarkan-literasi (diakses 27 Mei 2020)
Parekh, Bhikhu. 2000. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. London:Macmillan Press LTD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar